
Gumpalannews.com, BANDA ACEH – Banda Aceh kembali menegaskan posisinya sebagai epicentrum Penegakan Syariat Islam di Indonesia melalui aksi konkret Walikota Illiza Sa’aduddin Djamal.
Dengan menggulirkan operasi intensif di sektor hiburan dan penginapan, Illiza berhasil mengungkap praktik mesum, khalwat, prostitusi, hingga peredaran narkoba. Langkah ini tidak hanya mengembalikan marwah hukum Islam, tetapi juga memicu diskusi tentang relevansi syariat di tengah arus globalisasi.
Dr. Jummaidi Saputra, akademisi Universitas Abulyatama, menilai ini sebagai momentum kebangkitan identitas Aceh: “Ketegasan pemimpin adalah kunci penegakan hukum yang selama ini dianggap sekadar simbol.”
Dukungan Akademis & Legalisasi Hukum
Dr. Jummaidi menekankan bahwa Penegakan Syariat Islam di Banda Aceh memerlukan sinergi antara otoritas pemimpin dan legitimasi hukum. “Hukum ibarat pedang: tajam jika dipegang pemimpin berintegritas, tapi tumpul jika hanya jadi pajangan,” ujarnya.
Secara legal, Aceh memiliki pondasi kuat melalui UU No. 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengakomodir Qanun Jinayat sebagai panduan sanksi hukum. Sayangnya, implementasi sanksi terhadap korporasi—seperti denda 1.000 gram emas atau 100 cambuk bagi badan usaha yang memfasilitasi maksiat (Pasal 33 Qanun No. 6/2014)—masih minim.
“Ini celah serius. Penegakan hukum harus setimpal, tak peduli pelakunya individu atau perusahaan,” tegas Jummaidi.
Kilas Historis: Keteladanan Sultan Iskandar Muda
Sejarah Aceh Darussalam di era Sultan Iskandar Muda menjadi bukti nyata Penegakan Syariat Islam tanpa kompromi. Kisah penghukuman mati Meurah Pupok, putra sang sultan, karena korupsi dan pelanggaran moral, menggambarkan prinsip keadilan yang tak pandang status.
“Jika dulu Sultan Iskandar Muda berani menghukum keluarganya sendiri, pemimpin hari ini harus memiliki keberanian serupa,” tandas Jummaidi. Nilai ini relevan dengan upaya Illiza memberantas praktik liwath (LGBT) yang turut menyumbang 530 kasus HIV/AIDS di Banda Aceh, di mana 60% di antaranya terkait hubungan sesama jenis.
Tantangan Kontemporer: Generasi Muda dan Krisis Moral
Data lapangan menunjukkan 72% pelanggar syariat di Banda Aceh adalah remaja usia 15–24 tahun. Fenomena ini mencerminkan degradasi moral yang dipicu oleh eksposur budaya global dan lemahnya pengawasan keluarga.
“Ini bukan sekadar masalah hukum, tapi krisis identitas. Generasi muda Aceh harus diingatkan kembali pada akar syariat yang menjadi jiwa keacehan,” papar Jummaidi.
Selain itu, maraknya kasus prostitusi terselubung (Open BO) dan penggunaan narkoba di kalangan remaja menambah daftar pekerjaan rumah bagi pemerintah kota.
Strategi Holistik: Dari Penindakan ke Pembinaan
Untuk memastikan Penegakan Syariat Islam di Banda Aceh berkelanjutan, diperlukan pendekatan multidimensi. Dr. Jummaidi menyarankan integrasi kurikulum berbasis syariat di sekolah, pembangunan pusat rehabilitasi berbasis agama, dan penindakan tegas terhadap korporasi pelanggar.
“Hukum tidak boleh berhenti di cambuk. Pelaku yang kembali residivis perlu dibina secara psikologis dan spiritual, bukan hanya dihukum fisik,” jelasnya. Kolaborasi dengan ormas, ulama, dan komunitas pemuda juga dinilai krusial untuk menciptakan sistem pengawasan mandiri di masyarakat.
Proyeksi ke Depan: Membangun Sistem Berkelanjutan
Sebagai daerah istimewa, Banda Aceh dituntut tidak hanya menjadi pelaksana, tetapi juga percontohan Penegakan Syariat Islam yang Adaptif. Langkah Illiza diharapkan tidak sekadar berupa razia temporer, tetapi juga membangun infrastruktur hukum dan sosial yang mencegah pelanggaran.
“Aceh harus mewariskan sistem, bukan hanya cerita heroik. Jika dulu Sultan Iskandar Muda meletakkan dasar keadilan, kini kita perlu mewariskan mekanisme yang menjaga kesinambungan,” pungkas Jummaidi.***
Komentar